Jumat, 30 September 2011

SERI SEJARAH PERKOTAAN

KOTA BEKASI
(1950-2010)

Oleh :
Aan Abdurachman

A.     PENDAHULUAN
Sejarah kota merupakan bahasan yang cukup dinamis dalam kajian sejarah, namun sampai sekarang belum mendapat perhatian khusus, termasuk kalangan sejarawan. Kajian kota lebih banyak menyangkut aspek teknis, padahal kajian tentang aspek pertumbuhan dan perkembangan perkotaan sangat penting dalam mengkaji dan menganalisa suatu perencanaan suatu kota. Perencanaan pembentukan kota atau pemekaran suatu wilayah perkotaan harus dilihat dari berbagai aspek, termasuk sejarah perkotaan itu sendiri. Hal ini penting karena menyangkut manusia yang akan menghuni suatu wilayah, sehingga sarana dan prasarana harus dipertimbangkan sesuai dengan kebutuhan dan karakter budaya setempat.
Sejak abad ke-20 kota-kota di Indonesia sudah mengambil alih banyak kegiatan dari pedesaan. Pergeseran dari desa ke kota bersamaan dengan perubahan social dalam masyarakat. Sejarah perlawanan terhadap kolonialisme di Indonesia, pusat perlawanan tidak lagi di desa dengan  pemimpin pedesaan sebagai penggerak. Akan tetapi di kota dengan kaum terpelajar dan kelas menengah telah mengambil peranan dalam pergerakan nasional melawan kolonialisme Belanda, sehingga mempunyai ciri yang berbeda dengan pergerakan sebelumnya. Sementara itu, terjadi pergeseran dalam budaya ketika kota menggantikan budaya desa, setelah kota-kota banyak terpengaruh oleh masuknya unsure-unsur budaya modern. Kelas menengah kota merupakan kelompok social tersendiri, keluar dari kerangka masyarakat tradsional dan budaya pedesaan. Pada awal abad ke-20 kota muncul sebagai suatu kategori dalam sejarah Indonesia. Kota dapat disebut sebagai suatu kesatuan yang secara sah berdiri sendiri dan patut menjadi kajian tersediri pula.[1]
     Menurut Sartono Kartodirdjo (1993), salah satu tema penting dalam sejarah sosial adalah perubahan sosial. Seluruh proses sejarah apabila dipandang dari perspektif sejarah sosial, merupakan proses perubahan sosial. Dalam konteks modernisasi, perubahan sosial akan mencakup berbagai permasalahan, seperti akulturasi, proses seleksi, transformasi struktural, hubungan sosial dan perubahan sosial.
Dalam konteks industrialisasi dan transformasi yang mengikutinya dituntut kajian terhadap pertumbuhan ekonomi dari sistem ekonomi tradisional atau agraris ke sistem produksi industrial. Dengan terbentuk dan makin meluasnya jaringan navigasi ataupun transportasi, perdagangan dan jaringan antar daerah industri masuk ke dalam sistem global. Konsep ekonomi juga mencakup pola alokasi produksi dan konsumsi, dan masalah ini berhubungan dengan sistem sosial dan stratifikasinya. Dalam hal ini, industrialiasi yang berkembang di wilayah Bekasi tidak terlepas dari akibat perkembangan jaringan transportasi dan perdagangan, sehingga menarik untuk dikaji.
Dalam kajian mengenai kota, batas administratif menjadi dasar penelitian, termasuk masalah kependudukan. Batas wilayah kota dapat mengikuti perkembangan kota itu sendiri, tidak terikat oleh ketentuan-ketentuan administrative. Dengan tumbuhnya kota-kota tidak berarti hilangnya rural-urban continuum atau folk-urban continuum, dan sekaligus terjadi rural urban contrast secara menyeluruh. Proses urbanisasi tidak terjadi secara mendadak dan menyeluruh. Banyak cirri-ciri pedesaan masih terdapat  dalam masyarakat kota, bahkan batas geografis antara desa dan kota kadang-kadang sukar ditegaskan, kecuali dalam batas administratif. Sering terjadi pemukiman-pemukiman penduduk yang secara sosiologis bisa disebut urban, tetapi terletak jauh dari kota induk sehingga menjadi kota satelit. Penduduk yang tinggal di kota-kota satelit secara ekonomis, social dan cultural termasuk dalam lingkungan kota induknya, tetapi secara administratif masuk daerah lain, seperti yang terjadi pada perkembangan kota Bekasi.[2]

B.     PEMBENTUKAN KOTA BEKASI
Bekasi adalah sebuah kota yang terletak di sebelah timur Jakarta yang berbatasan dengan Jakarta di barat, Kabupaten Bekasi di utara dan timur, Kabupaten Bogor di selatan, serta Kota Depok di sebelah barat daya. Bekasi merupakan salah satu kota penyangga Ibukota Negara Indonesia Jakarta selain Tangerang, Bogor, dan Depok. Kota Bekasi juga dikenal sebagai tempat tinggal para komuter yang bekerja di Jakarta. Jumlah Penduduknya sekitar 1.932.000 (2003)· Kepadatan 9.178 jiwa/km² dengan luas 210,49 km2. Berdasarkan  kontribusi terhadap pendapatan daerah, keberadaan kawasan-kawasan industri di kota ini mampu menjadi mesin pertumbuhan ekonomi, terutama industri pengolahan, yang diikuti sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Selain utu, lahan pertanian juga ikut menyumbang terhadap APBD Kota Bekasi. Para petani terutama yang tersebar di bagian utara Kota Bekasi, yang relatif tertinggal dengan daerah di sekitar pusat kota.
Pada zaman dahulu Bekasi merupakan ibu kota Kerajaan Tarumanagara (358-669) yang dikenal dengan sebutan Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri. Luas Kerajaan ini mencakup wilayah Bekasi, Sunda Kelapa, Depok, Cibinong, Bogor hingga ke wilayah Sungai Cimanuk di Indramayu. Menurut para ahli sejarah dan fisiologi, letak Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri sebagai Ibukota Tarumanagara adalah di wilayah Bekasi sekarang. Dayeuh Sundasembawa inilah daerah asal Maharaja Tarusbawa (669-723 M) pendiri Kerajaan Sunda dan seterusnya menurunkan Raja-Raja Sunda sampai generasi ke-40 yaitu Ratu Ragamulya (1567-1579 M) yang merupakan raja Kerajaan Sunda atau Kerajaan  Pajajaran yang terakhir.
Wilayah Bekasi cukup banyak memberi informasi tentang keberadaan Tatar Sunda pada masa lampau, antara lain dengan ditemukannya empat prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Kebantenan. Prasasti tersebut merupakan keputusan (piteket) dari Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi, Jayadewa 1482-1521 M) yang ditulis dalam lima lembar lempeng tembaga. Sejak abad ke 5 Masehi pada masa Kerajaan Tarumanagara abad ke-8, Kerajaan Galuh, dan Kerajaan Pajajaran pada abad ke 14. Bekasi menjadi wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Jawa Barat karena letaknya yang strategis, yakni sebagai penghubung antara pelabuhan Sunda Kelapa (Jakarta). Kemudian Pelabuhan Sunda Kelapa jatuh ke tangan tentara Islam yang dipimpin Fatahilah pada tahun 1527 sebelum dianeksasi VOC dari tangan Bupati Wiajyakrama pada tahun 1619.  Karena korupsi yang merajalela, VOC mengalami kebangkrutan yang kemudian dialihkan ke Pemerintah Hindia Belanda (1799) yang terus meluaskan kekuasaannya di nusantara, termasuk wilayah Bekasi.
Pada masa kolonial, Bekasi hanya merupakan kewedanaan (district) yang termasuk kabupaten (regenschap) Meester Cornelis.[3] Saat itu, kehidupan sistem kemasyarakatan, khususnya di sektor ekonomi dan pertanian didominasi atau dikuasai oleh para tuan tanah keturunan Cina. Sehingga, dengan kondisi tersebut, seolah-olah Bekasi memiliki bentuk pemerintahan ganda, yaitu pemerintahan tuan tanah dan di dalam pemerintahan kolonial. Kondisi ini berlangsung hingga pendudukan Jepang.
Pada tanggal 8 Maret 1942, pemeritah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada bala tentara Dai Nippon di Kalijati, Subang (Jawa Barat). Tentara pendudukan Jepang melakukan Japanisasi di seluruh sektor kehidupan, termasuk mengganti nama Batavia dengan Jakarta. Dan Regenschap Meester Cornelis berubah menjadi Ken Jatinegara. Di mana batas wilayahnya meliputi Gun Bekasi, Gun Cikarang, dan Gun Matraman. Selama hamper tiga setengah tahun, wilayah Hindia Belanda, termasuk Bekasi mengalami penderitaan akibat penjajahan Jepang. Semua sumber daya, dikerahkan untuk kepentingan perang Jepang. Akibat penderitaan yang sangat dahsyat, gema proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pengansaan Timur Jakarta, disambut gembira rakyat Indonesia. Begitu pula degan rakyat Bekasi tidak tinggal diam untuk mengambil bagian dalam memepertahankan kemerdekaan.   
Setelah proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, struktur pemerintahan Bekasi kembali berubah nama. Ken menjadi Kabupaten, Gun berubah menjadi Kewedanaan, Son diubah menjadi Kecamatan dan Kun menjadi Desa. Sementara gedung kabupaten Jatinegara yang membawahi kewedanaan Bekasi, saat ini digunakan oleh Kodim 0505 Jakarta Timur. Karena tentara pendudukan Sekutu yang dipimpin Inggris mentukan garis keamanannya hingga ke Warung Jengkol (sekarang terletak di terminal Pulo Gadung Klender).
Pada masa perang kemerdekaan melawan agresi Belanda, maka ibukota kabupaten Jatinegara sering berpindah-pindah. Pertama, di Tambun, lalu kemudian di Cikarang. Setelah itu, dipindahkan lagi ke Bojong (Kedunggede) ketika Rubaya Suryanata Mihardja yang menjabat sebagai bupati kabupaten Bekasi. Pada waktu Bekasi diduduki oleh tentara Belanda, kabupaten Jatinegara dihapus dan kedudukannya dikembalikan seperti zaman Regenschap Meester Cornelis, yaitu menjadi kewedanaan. Hal ini merupakan upaya Belanda untuk mengembalikan kekuasaannya seperti sebelum pendudukan Jepang.
Sekitar bulan Maret 1949, tempat kedudukan residen militer RI daerah V yang dipimpin oleh Letkol Sambas Admadinata sebagai residen dan Mu’min selaku residen militer daerah V pindah ke daerah Taringgul di Purwakarta. Bupati Kabupaten Jatinegara Mr. R Soehanda Oemar berkantor di Gedung Papak Jatinegara. Kabupaten Jatinegara pernah berkantor di pabrik sepatu Malino, Gang Binares (Pisangan Lama) karena perselisihan antara pihak RI dengan Belanda yang ingin berkuasa kembali di Indonesia.
Pembentukan Kabupaten Bekasi tidak lepas dari semangat nasionalisme rakyat Bekasi dalam rangka menentang kaum penjajah Belanda. Diawali dengan pembentukan "Panitia Amanat Rakyat Bekasi" (PARB), pada tanggal 17 Februari 1950, sekitar 40.000 masyarakat Bekasi melakukan unjuk rasa di alun-alun Bekasi dalam rangka menyokong pembentukan Kabupaten Bekasi. PARB dipelopori oleh para tokoh perjuangan di Bekasi yaitu K.H. Noer Ali, R. Supardi, M. Hasibuan, Namin, Aminuddin dan Marzuki Urmaini. Para tokoh pejuang di Bekasi menyampaikan pernyataan sikapnya untuk membentuk kabupaten Bekasi yang berada di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Unjuk rasa rakyat Bekasi tersebut dihadiri oleh Residen Militer Daerah V, Mu’min berserta stafnya. Isi pernyataan tokoh-tokoh Bekasi antara lain:[4]
1)              rakyat Bekasi tetap berdiri di belakang pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI);
2)              Rakyat Bekasi mengajukan usul kepada pemerintah pusat agar kabupaten Jatinegara menjadi Kabupaten Bekasi.
Tuntutan pembentukan kabupaten Bekasi dikabulkan pemerintah Pusat melalui Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tanggal 15 Agustus 1950. Bukan suatu kebetulan, tujuh bulan kemudian pada tanggal yang sama, yaitu pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS (Republik Indonesia Serikat) yang dirancang Belanda  dibubarkan dan kembali ke NKRI. Ketika itu, Kabupaten Bekasi terdiri dari 4 kewedanaan, 13 kecamantan dan 95 desa. Angka-angka tersebut dituangkan dalam lambang Kabupaten Bekasi. Untuk mempermudah jalannya pemerintahan, pada tahun 1960, kantor Kabupaten Bekasi dipindahkan dari Jatinegara ke Bekasi.
Pasca Gerakan 30 September 1965, terjadi peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto pada tahun 1968. Salah satu konsekuensinya adalah terjadi perubahan politik dan ekonomi, yang semula lebih dekat ke negara-negara Blok Timur yang dipimpin Uni Sovyet menjadi lebih dekat ke Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat. Rezim Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto memprioritaskan pembangunan ekonomi yang didukung investasi dari negara-negara Barat. Beberapa kebijakan politik dan ekonomi telah dikeluarkan untuk memperlancar program pembangunan dengan tahapan-tahapan tertentu yang dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Konsep Trilogi pembangunan politik dan ekonomi terus disebarkluaskan, yauti stabilitas politik yang aman dan terkendali, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Kemampuan Soeharto untuk mengelola politik berdampak pada keberlangsungan program-program pembangunan ekonomi.
Salah satu dampaknya adalah pesatnya pembangunan di wilayah kota Jakarta dan sekitarya, termasuk pada perkembangan kota Bekasi. Jakarta menjadi daya tarik bagi penduduk di luar Jakarta untuk mengais rezeki, sehingga terjadi urbanisasi penduduk yang terus meningkat. Mobilitas penduduk yang tinggi memerlukan sarana dan prasarana yang memadai, termasuk pemukiman. Terbatasnya lahan pemukiman maupun untuk industry mengakibatkan bergesernya lokasi ke daerah sekitarnya, yaitu Bogor, Tangerang dan Bekasi. Di wilayah Bekasi berkembang industry dan lahan pemukiman yang pesat sehingga tumbuh menjadi sebuah kota yang sibuk. Pembangunan jalan yang menghubungkan Jakarta dengan Bekasi semakin mempermudah gerak penduduk antara kedua wilayah tersebut. Perkembangan kota Bekasi yang pesat menuntut adanya pelayanan yang maksimal terhadap masyarakat, sehingga pada tahun 1982 Komplek Perkantoran Pemerintah Kabupaten Bekasi Daerah Tingkat II Bekasi dipindahkan oleh Bupati Bekasi, Abdul Fatah ke Jalan Jenderal Ahmad Yani Nomor 1, yang sebelumnya berlokasi di Jalan Ir H Juanda.[5]
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 1981 Kecamatan Bekasi ditingkatkan statusnya menjadi Kota Administrasif Bekasi yang meliputi 4 kecamatan, yaitu: Bekasi Barat, Bekasi Selatan, Bekasi Timur, Bekasi Utara. Dari keempat kecamatan itu terdiri 18 kelurahan dan 8 desa. Pemekaran itu dilakukan atas tuntutan masyarakat perkotaan yang memerlukan adanya pelayanan khusus. Pembentukan Kota Administrasi Bekasi digelar pada tanggal 20 April 1982 yang dihadiri Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Adapun yang menjabat sebagai Walikota Administrasi Bekasi adalah Drs Andi R Sukardi hingga 1988, dan digantikan oleh Drs H Kailani AR.
Dengan adanya konsep Botabek yang didukung oleh Inpres Nomor 13 Tahun 1976 sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan Kota Administrasi Bekasi sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan ibukota negara, DKI Jakarta. Dengan kondisi itu, maka Kota Administrasi Bekasi dan kecamatan-kecamatan di sekitarnya yang berada di wilayah kerja Kabupaten Bekasi mengalami pertumbuhan yang amat pesat. Sehingga memerlukan peningkatan dan pengembangan sarana dan prasaran sebagai syarat pengelolaan wilayah. Selain itu, perkembagan yang ada telah menujukkan bahwa Kota Administrasi Bekasi mampu memberikan dukungan penggalian potensi di wilayahnya untuk menyelenggarakan otonomi daerah.
Untuk mendukung jalannya roda pemerintahan, maka keluarlah UU Nomor 9 Tahun 1996 yang mendukung berubahnya Kota Administrasi Bekasi menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi. Berdasarkan pasal 3 UU nomor 9 Tahun 1996, Kotamadya Bekasi meliputi Kecamatan Bekasi Utara, Kecamatan Bekasi Barat, Kecamatan Bekasi Selatan, Bekasi Timur, Kecamatan Pondok Gede, Kecamatan Jatiasih, Kecamatan Bantar Gebang serta Kecamatan Pembantu Jatisampurna. Beikut adalah pusat-pusat pemerintahan masing-masing kecamatan di Kotamadya Bekasi, yaitu:
1)     Pusat Pemerintahan Kecamatan Bekasi Utara berkedudukan di Kelurahan Perwira;
2)     Pusat Pemerintahan Kecamatan Bekasi Timur berkedudukan di Kelurahan Margahayu;
3)     Pusat Pemerintahan Kecamatan Bekasi Selatan berkedudukan di Kelurahan Pekayonjaya;
4)     Pusat Pemerintahan Kecamatan Bekasi Barat berkedudukan di Kelurahan Bintarajaya;
5)     Pusat Pemerintahan Kecamatan Pondokgede berkedudukan di Kelurahan Jatiwaringin;
6)     Pusat Pemerintahan Kecamatan Jatiasih berkedudukan di Desa Jatiasih;
7)     Pusat Pemerintahan Kecamatan Bantargebang berkedudukan di Desa Bantargebang;

Dengan demikian, berdasarkan Pasal 4 UU Nomor 9 Tahun 1996, dengan dibentuknya Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi dikurangi dengan wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi sebagaimanadimaksud dalam Pasal 3 ayat (1). Dengan terbentuknya Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi, maka Kota Administratif Bekasi dalam wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi dihapus. Sedangkan batas-batas wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi antara lain sebagai berikut:
1)     Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Tarumajaya dan Kecamatan Babelan Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi;
2)     Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Tambun dan Kecamatan Setu Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi;
3)     Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Gunung Putri dan Kecamatan Cimanggis Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor;
4)     Sebelah barat berbatasan dengan wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
Batas wilayah Kotamadya Bekasi dituangkan dalam peta yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-undang No. 9 Tahun 1996 yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Wilayah Kotamadya Bekasi meliputi 23 desa dan 27 kelurahan. Secara geografi Kota Bekasi berada pada posisi 106º55’ bujur timur dan 6º7’ - 6º15’ lintang selatan, dengan ketinggian 19 m diatas permukaan laut. Letak Kota Bekasi yang sangat strategis merupakan keuntungan bagi Kota Bekasi terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kemudahan dan kelengkapan sarana dan prasarana transportasi di Kota Bekasi menjadikan Kota Bekasi menjadi salah satu daerah penyeimbang DKI Jakarta.
Karena perkembangan kota yang semakin pesat, diperlukan pemekaran wilayah Kotamadya Bekasi.  Berdasarkan surat Menteri Dalam Negeri bernomor 140/2848/PUOD tanggal 3 Februari 1998 dan sesuai keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 50 Tahun 1998, status 6 desa diubah menjadi kelurahan dengan memekarka 2 kelurahan baru. Dengan demikian jumlah desa/kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi menjadi 52 desa. Masing-masing 35 jumlah kelurahan dan 17 jumlah desa. Dengan dengan pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah terjadi perubahan paradigma dalam penyelenggaraan pemerintah daerah, sehingga nomenklatur pemerintah daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi berubah menjadi Kota Bekasi. Berdasarkan UU Nomor 22/1999, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Provinsi sebagai Daerah Otonomi serta PP Nomor 84 Tahun 2000 Tentang Pedoman Organisasi Pejabat Daerah, telah melahirnya peraturan daerah Nomor 9, 10, 11 dan 12 Tentang Pengaturan Organisasi Perangkat Daerah.
Pesatnya pembangunan Kota Bekasi yang diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk, diperlukan kebijakan baru untuk meningkatkan pelayanan publik. Melalui Perda (peraturan daerah) Nomor 14 Tahun 2000 dibentuklan 2 kecamatan baru, yaitu Kecamatan Rawa Lumbu dan Medan Satria, sehingga jumlah kecamatan di Kota Bekasi menjadi 10 kecamatan. Kemudian berdasarkan Perda Kota Bekasi Nomor 02 Tahun 2002 Tentang Penetapan Kelurahan, maka seluruh desa yang ada di Kota Bekasi berubah status menjadi kelurahan, sehingga Pemko (pemerintah kota) Bekasi mempunyai 52 pemerintahan di kelurahan. Seiring waktu perjalanan Pemko Bekasi mengalami pemekaran kembali. Berdasarkan Perda Pemko Bekasi Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Wilayah Administrasi kecamatan dan kelurahan, maka wilayah administrasi Kota Bekasi menjadi 12 kecamatan dan 56 kelurahan.
Berdasarkan penetapan pusat ibukota Pemko Bekasi yang disahkan oleh lembaga DPRD Kota Bekasi bernomor: 27/174.2/DPRD/2005 Tentang Persetujuan Pemindahan Pusat Ibukota Pemko Bekasi tertanggal 25 Juni Tahun 2005, lokasi perkantoran (pusat ibukota) Pemko Bekasi dialihkan ke Jalan Jend. Ahmad Yani Nomor 1 Kecamatan Bekasi Selatan yang sebelumnya berpusat di Jalan Ir Juanda.  Pada pemilu legislatif 2004 telah mengantarkan 45 orang wakil rakyat Kota Bekasi dari delapan partai politik: PKS (11), Golkar (9), PD (7), PAN (6), PDI-P (6), PPP (4) PDS (1), PBB (1). Periode 2004-2009, yang terpilih sebagai pimpinan DPRD Ketua H Rahmat Effendi (F-Golkar), didampingi oleh H Dadang Asgar Noor (F-PD) dan H Ahmad Syaikhu (F-PKS). Ketua DPRD Kota Bekasi adalah H. Yusuf Nasih yang menggantikan Rahmat Effendi yang terpilih menjadi Wakil Walikota.

C.     KOTA BEKASI SEBAGAI DAERAH INDUSTRI
Penduduk Kota Bekasi tahun 2009 menurut Badugcapil tercatat sebanyak 2.584.427 jiwa terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 1.320.640 dan perempuan 1.263.787 jiwa. Rasio jenis kelamin sebesar 104,48. Jumlah penduduk ini tersebar pada 12 kecamatan. Penyebaran tertinggi pada Kecamatan Bekasi Barat sebanyak 13,37% (276.879 jiwa), Bekasi Timur 13,05% (270.256 jiwa), Bekasi Utara 12,97% (268.673 jiwa)   dan terendah di Kecamatan Jati Sampurna sebesar 3,46% (71.750 jiwa). Konsep penduduk menurut BPS: Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis Republik Indonesia selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap. Konsep penduduk menurut Badan Kependudukan dan Catatan sipil: penduduk adalah orang yang mempunyai KTP dan atau mempunyai KK (beridentitas). Sebagai umumnya daerah perkotaan, mata pencaharian penduduk kota Bekasi cukup heterogen. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, jumlah tenaga kerja pun turut meningkat.  Berdasarkan catatan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Bekasi, jumlah pencari kerja terdaftar pada tahun 2008 ada 42.376 orang sedangkan pada tahun 2009 ada 45.316 orang. Sebagian besar pencari kerja tersebut adalah mereka yang berpendidikan SLTA yaitu 28.311 orang dan Akademi/Universitas sekitar 14.968 orang. Namun jumlah mereka yang diterima hanya sekitar 919 orang, 871  orang  diantaranya yang berpendidikan tamat SLTA dan  sebanyak 9 orang yang berpendidikan Akademi / Universitas.



Tabel 1
Perkembangan Jumlah dan rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk
Menurut Kecamatan di Kota Bekasi Tahun 1997-2010


No.
Kecamatan
Jumlah Penduduk
Laju Pertumbuhan Penduduk
1997**)
2000
2010
1997-2000
2000-2010
1
2
3
4
5
6
7
1
PONDOKGEDE 
273.323
169.109
246.413
-14,77
3,8
2
JATISAMPURNA 
-   
57.489
103.494
-
5,93
3
PONDOKMELATI
-   
89.087
129.747
-
3,79
4
JATIASIH 
111.525
135.331
199.158
5,95
3,9
5
BANTARGEBANG 
84.866
62.227
95.759
-9,55
4,35
6
MUSTIKAJAYA 
-   
71.877
160.381
-
8,09
7
BEKASI TIMUR 
377.169
217.575
246.199
-16,93
1,25
8
RAWALUMBU 
-   
139.617
208.120
-
4,03
9
BEKASI SELATAN 
221.999
161.417
203.588
-9,81
2,34
10
BEKASI BARAT 
239.263
222.373
269.655
-2,25
1,94
11
MEDAN SATRIA
-   
121.736
161.362
-
2,84
12
BEKASI UTARA 
163.332
215.964
304.005
8,59
3,45

Jumlah
1.471.477
1.663.802
2.327.881
3,78
3,39


Sumber : BPS Kota Bekasi, 2010
Tabel 2. 
Penduduk Kota Bekasi Menurut Jenis Kelamin dan Sex Ratio
Hasil Sensus Penduduk 2010


No.
Kecamatan
Laki-Laki
Perempuan
Laki-laki + perempuan

Sex Ratio
1
2
3
4
5
6
1
PONDOKGEDE
123.934
122.479
246.413
101,19
2
JATISAMPURNA
51.945
51.549
103.494
100,77
3
PONDOKMELATI
65.403
64.344
129.747
101,65
4
JATIASIH
100.826
98.332
199.158
102,54
5
BANTARGEBANG
50.519
45.240
95.759
111,67
6
MUSTIKAJAYA
81.084
79.297
160.381
102,25
7
BEKASI TIMUR
125.194
121.005
246.199
103,46
8
RAWALUMBU
104.019
104.101
208.120
99,92
9
BEKASI SELATAN
102.082
101.506
203.588
100,57
10
BEKASI BARAT
136.736
132.919
269.655
102,87
11
MEDAN SATRIA
81.794
79.568
161.362
102,8
12
BEKASI UTARA
154.106
149.899
304.005
102,81

Jumlah
1.177.642
1.150.239
2.327.881
102,38
(HASIL Sensus Penduduk Tahun 2000)
828.717
835.085
1.663.802
99,24


Sumber : BPS Kota Bekasi, 2010

Pada umumnya kehidupan kota menciptakan kepribadian kota yang materealistis, berorientasi, kepentingan, berdikari (self sufficient), impersonal, tergesa-gesa, interaksi social dangkal, manipualtif, insekuritas (perasaan tidak aman) dan disorganisasi pribadi. Karakteristik lain dari masyarakat kota tampak dari beberapa hal, yaitu:
  1. Pengaruh alam terhadap masyarakat kota kecil
  2. Mata pencahariannya sangat beragam sesuai dengan keahlian dan ketrampilannya.
  3. Corak kehidupan sosialnya bersifat gessel schaft (patembayan), lebih individual dan kompetitif.
  4. Keadaan penduduk dari status sosialnya sangat heterogen
  5. Stratifikasi dan diferensiasi sosial sangat mencolok. Dasar stratifikasi adalah pendidikan, kekuasaan, kekayaan, prestasi, dll.
  6. Interaksi sosial kurang akrab dan kurang peduli terhadap lingkungannya. Dasar hubungannya adalah kepentingan.
  7. Keterikatan terhadap tradisi sangat kecil
  8. Masyarakat kota umumnya berpendidikan lebih tinggi, rasional, menghargai waktu, kerja keras, dan kebebasan
  9. Jumlah warga kota lebih banyak, padat, dan heterogen
  10. Pembagian dan spesialisasi kerja lebih banyak dan nyata
  11. Kehidupan sosial ekonomi, politik dan budaya amat dinamis, sehingga perkembangannya sangat cepat
  12. Masyarkatnya terbuka, demokratis, kritis, dan mudah menerima unsur-unsur pembaharuan.
  13. Pranata sosialnya bersifat formal sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku
  14. Memiliki sarana – prasarana dan fasilitas kehidupan yang sangat banyak.
Ada beberapa karakteristik masyarakat kota, yaitu Anonimitas, Jarak Sosial, Keteraturan, Keramaian (Crowding) dan Kepribadian Kota. karakter anonimitas tampak dari warga kota yang menghabiskan waktunya di tengah-tengah kumpulan manusia yang anonim. Heterogenitas kehidupan kota dengan keaneka ragaman manusianya yang berlatar belakang kelompok ras, etnik, kepercayaan, pekerjaan, kelas sosial yang berbeda-beda mempertajam suasana anonim. Jarak Sosial tampak dari antagonis dalam kehidupan sosial, dimana secara fisik orang-orang hidup dalam keramaian, akan tetapi secara kejiwaan mereka hidup berjauhan. Keteraturan kehidupan kota lebih banyak diatur oleh aturan-aturan legal rasional, seperti rambu-rambu lalu lintas, jadwal kereta api, acara televisi, jam kerja, dan sebagainya. Keramaian (Crowding) berkaitan dengan kepadatan dan tingginya tingkat aktivitas penduduk kota, sehingga mereka suatu saat berkerumun pada pusat keramaian tertentu yang bersifat sementara (tidak permanen).
Seperti halnya kota-kota besar lainnya di Indonesia, di Bekasi juga terjadi ketimpangan sosial ekonomi, seperti tampak dari banyaknya gelandangan, pengemis, dan pengamen disaat banyak mobil-mobil mewah berlalu lalang. Kondisi tersebut perlu mendapat perhatian dari pemerintah maupun masyarakat sehingga kegiatan sosial menjadi perhatian yang penting. Perhatian khusus dari pemerintah adalah anak-anak yang berada di Panti Asuhan dan Yayasan Sosial yang menampung anak asuh. Jumlah anak asuh  sejak tahun 2008 meningkat dari sekitar 5.291 anak menjadi 5.386 anak asuh pada tahun 2009. Jumlah Panti Asuhan dan Yayasan Anak Asuh bertambah dari sekitar 166 Panti / Yayasan menjadi 180 Panti/Yayasan. Secara rinci jumlah Panti Asuhan yang tersedia di Kota Bekasi berjumlah 86 buah dengan jumlah anak asuh sebanyak 3.407 orang. Sedangkan Yayasan Anak Asuh sekitar 94 buah dengan jumlah anak asuh sebanyak 1.979 anak.
Perekonomian Kota Bekasi tampak cukup dinamis, seperti tampak dari banyaknya mal, pertokoan, bank, restoran dan sebagainya. Kota Bekasi juga menjadi salah satu pilihan bagi warga Jabotabek yang hendak berwisata belanja, seperti Mal Metropolitan, Mega Bekasi Hypermal, Bekasi Square, Plaza Pondok Gede, Grand Mal, Bekasi Cyber Park, Bekasi Trade Centre, dan hypermarket (seperti Carrefour, Giant, Makro). Perumahan mewah dengan fasilitas kota mandiri juga banyak berkembang di Kota Bekasi, seperti Kemang Pratama, Harapan Indah dan rencana pengembangan Summarecon Bekasi seluas 300 ha di Bekasi Utara.
Pesatnya perkembangan industry di Kota Bekasi mendorong urbanisasi yang merupakan  proses terbentuknya kota/proses kemasyarakatan.[6]  Perkembangan perindustrian tampak dari pesatnya pembangunan lahan industri. Pasca krisis moneter (krismon) tahun 1997-1998, kondisi perindustrian di Kota Bekasi sempat mengalami penurunan. Namun pada tahun 2000-an kembali mengalami peningkatan. Fluktuasi perkembangan industri terjadi kembali, ketika Pemberian Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) [7] di Kota Bekasi oleh Deperindag Kota Bekasi mengalami penurunan, dimana pada tahun 2009 turun 14,58% dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan sektor perumahan terus mengalami peningkatan, karena lahan di DKI Jakarta semakin sempit maka penduduk di sekitar Jakarta banyak yang mengambil perumahan di wilayah Kota Bekasi. Perumahan merupakan kebutuhan primer selain sandang dan pangan bagi seluruh masyarakat. Permintaan unit rumah yang akan dibangun terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Ini dapat terlihat dari jumlah Ijin Membangun Bangunan (IMB) yang dikeluarkan oleh Dinas Tata Bangunan. Banyaknya IMB yang dikeluarkan di tahun 2009 mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, dari 5.816  di tahun 2008 menjadi 5.163 di tahun 2009. kenaikan permintaan IMB belum tentu mengurangi jumlah unit rumah yang dibangun, mengingat Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan yang salah satu akibatnya adalah banyak developer yang menunda atau menghentikan pembangunan perumahan.
Dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia, upaya pembangunan di bidang pendidikan perlu dilakukan secara komprehensif.  Dengan dicanang-kannya pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun pada tahun 1994 merupakan titik awal bagi perbaikan dunia pendidikan.  Upaya perbaikan di bidang pendidikan tidak hanya dilakukan melalui pengadaan sarana dan prasarana sekolah melainkan juga menyelenggarakan berbagai program pendidikan untuk meningkatkan kualitas guru terutama untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Jumlah sekolah dan guru bertambah setiap tahunnya, data terakhir tercatat untuk tingkat pendidikan dasar terdapat 772 buah SD/MI dengan jumlah guru sebanyak  9.071 orang. Sedangkan untuk tingkat pendidikan SLTP/MTs terdapat 291 buah sekolah dengan jumlah guru 5.949 orang dan untuk tingkat pendidikan SMU/MA terdapat 104 buah sekolah dengan jumlah guru 2.926 orang. Sementara untuk SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) ada sekitar 91 buah sekolah dengan jumlah guru 1.922 orang. Dengan bertambahnya sarana dan prasarana sekolah diharapkan mampu mengimbangi pertambahan jumlah murid setiap tahunnya. Pada tahun 2009, untuk tingkat SD/MI jumlah murid sudah mencapai 236.038 murid, untuk tingkat SLTP/MTs sebanyak  74.940 murid dan untuk tingkat SMU/SMK/MA sebanyak 80.931 murid.
Meningkatnya penduduk kota dan industri berpengaruh pada sebaran penyakit di wilayah kota Bekasi. Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, Pemerintah Kota Bekasi berupaya meningkatan pelayanan dan pengadaan sarana serta tenaga medis sampai ke wilayah desa.  Namun demikian untuk pengadaan puskesmas pemerintah belum mampu mengimbangi kebutuhan seluruh lapisan masyarakat. Namun demikian minimal masyarakat dapat dengan lebih mudah mendapatkan pelayanan kesehatan.  Di kota Bekasi terdapat 28 rumah sakit dan 31 puskesmas. Tapi hanya 5 puskesmas yang sudah dilengkapi dengan fasilitas rawat inap meskipun jumlahnya sangat terbatas seperti di Puskesmas Pondok Gede, Pejuang, Karang Kitri, Bojong Rawa Lumbu dan Bantar Gebang. Berdasarkan data yang tercatat di Dinas Kesehatan dan RSUD Kota Bekasi pada tahun 2009 tercatat 891 tenaga kesehatan : 127 Dokter Umum, 7 dokter spesialis, 75 dokter gigi, 206 perawat kesehatan, 176 bidan dan 186 tenaga medis lainnya. Demikian pula jumlah tenaga kesehatan nonmedis dengan bertambahnya jumlah tenaga kesehatan diharapkan pelayanan yang diberikan dapat lebih optimal. Berdasarkan catatan Dinas Kesehatan Kota Bekasi, jumlah balita yang sudah mendapatkan imunisasi BCG sekitar 40.519 balita, campak 39.649 balita, DPT.III 40.258, Polio IV 40.603. Berdasarkan data Badan Kependudukan, Catatan Sipil dan Keluarga Berencana, Jenis kontrasepsi yang banyak digunakan adalah Suntik yaitu sebanyak 32.508 orang kemudian  Pil 15.992 orang dan  IUD 6.115 orang.
Pengembangan sarana ibadah di Kota Bekasi cukup meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Tempat ibadah yang tersedia di Kota Bekasi cukup memadai, pada tahun 2009 jumlah tempat ibadah umat Islam berjumlah 881 Masjid, 347 Musholla dan 1.252 Langgar. Disamping itu berdasarkan catatan Departeman Agama, terdapat 1.082 Majelis Taklim, 483 Mubaligh / Mubalighah, 263 penyuluh/PAH, dan 570 Taman Pendidikan Al Qur’an (TPQ). Sedangkan tempat ibadah untuk umat Nasrani, umat Budha dan umat Hindu masing-masing berjumlah 88 Gereja, 8 Vihara dan 2 Pura. Pengembangan sarana ibadah merupakan salah satu upaya membendung dampak negatif dari perkembangan kota, termasuk di Kota Bekasi. Jumlah tindakan kriminal yang terus meningkat memerlukan kendali rohani yang memadai, termasuk sarana peribadahan sehingga tercipta keamanan dan ketertiban masyarakat.
Keamanan dan ketertiban di suatu wilayah tidak hanya menjadi tanggungjawab aparat keamanan saja melainkan juga tanggungjawab masyarakat. Data dari Polres Bekasi tentang kejahatan  menunjukkan adanya kenaikan, pada tahun 2008 tercatat 2.265 tindak kejahatan sedangkan pada tahun 2009 menjadi  3.619 tindak kejahatan. Demikian pula dengan kecelakaan lalu lintas mengalami kenaikan yaitu dari 396 kejadian pada tahun 2008 menjadi 533 kejadian pada tahun 2009. Selama setahun terakhir jenis kejahatan yang mengalami peningkatan cukup berarti kasus narkotika. Namun ada beberapa jenis kejahatan yang masih sering terjadi selama tahun 2009, antara lain penipuan, pencurian,  penggelapan, pengrusakan, dan penyerobotan. Sedangkan jenis kejahatan yang paling banyak terjadi pada tahun 2009 adalah Penipuan yaitu sebanyak 484 kejadian kemudian diikuti dengan tindak kejahatan Pencurian sebanyak 467 kejadian. Khusus untuk kejahatan Narkotika, selama tahun 2008-2009 meningkat cukup dratis dari sekitar 416 kasus pada tahun 2008 menjadi 461 kasus pada tahun 2009. Demikian pula jumlah tersangka kasus Narkotika juga meningkat dibandingkan keadaan tahun 2008. Pada tahun 2008 jumlah tersangka kejahatan narkotika mencapai 560 orang sedangkan pada tahun 2009 menjadi 635 orang. Nampaknya untuk memberantas kejahatan narkotika perlu adanya kerjasama yang lebih intensif antara aparat kepolisian dengan masyarakat.
Kota Bekasi yang berbatasan langsung dengan Kota Metropolitan DKI Jakarta, pada saat ini maupun kedepan akan semakin mempunyai posisi yang sangat strategis dalam mendukung berbagai pelayanan dan pengembangan ibukota RI tersebut. Sehingga Kota Bekasi akan semakin strategis sebagai Kota Pengimbang (Trickling Down Effect) untuk mengurangi tekanan penduduk beserta aktifitasnya dari DKI Jakarta, dengan kondisi ini diasumsikan penduduk Kota Bekasi pada tahun 2015 akan mencapai 2.250.000 jiwa. Sebagian besar jalan di kota Bekasi rusak parah yang sangat mengganggu kelancaran transportasi publik, terutama pada musim hujan. Jalan-jalan yang rusak terutama di wilayah Bekasi Utara. Wilayah Bantar Gebang di selatan kota Bekasi yang menjadi tempat pembuangan akhir sampah. Selain itu, wilayah Banatr Genang berpotensi menjadi sumber penyakit bagi masyarakat di sekitarnya. Kemacetan juga menjadi masalah umum kota Bekasi, hal ini kerap terjadi pada pagi dan sore hari, karena kurang tertibnya para pengguna jalan terutama supir angkutan umum. Kemacetan biasa terjadi di depan pertokoan dan stasiun di Jl. Ahmad Yani, Jl. K.H Noer Ali, Jl. Sudirman, Jl. Ir Juanda, Jl. Joyomartono, dan Jl. Jatiwaringin. Masalah lain adalah kurangnya sarana air bersih, akibat pembangunan fisik yang cepat, termasuk menggerus lahan-lahan serapan air. Belum lagi pencemaran udara dan air yang semakin meningkat seiring perkembangan undustri di wilayah Bekasi.
Alih fungsi lahan pertanian dan perkebunan yang subur menjadi areal pemukiman atau industri telah mengurangi sumber swasembada pangan, khususnya padi. Sebelumnya, wilayah Bekasi termasuk daerah lumbung padi nasional yang cukup handal untuk menjaga stok pangan nasional. Peranan sektor Pertanian di Kota Bekasi relatif kecil karena tergeser oleh sektor Industri Pengolahan dan Perdagangan. Berkurangnya peranan sektor pertanian tercermin dari penggunaan lahan untuk sawah yang relatif kecil. Pada tahun 2009 luas lahan sawah di Kota Bekasi hanya 662 ha atau 3,15% dari seluruh luas wilayah Kota Bekasi (21.049 ha). Dilihat dari sistim pengairan yang digunakan, sebagian sawah di Kota Bekasi masih merupakan sawah tadah hujan (352 ha) yang sebagian besar terletak di Kecamatan Bantar Gebang. Sementara lahan sawah yang sudah menggunakan sistim pengairan irigasi teknis dan irigasi setengah teknis hanya seluas 52 ha dan 90 ha. Jika luas lahan sawah hanya sebesar 3,15% berarti 96,85% dari luas wilayah Kota Bekasi adalah tanah kering, yaitu 20.387 ha. Penggunaan tanah kering ini sebagian besar untuk bangunan perumahan, kantor dan industri. Luasnya lahan yang digunakan untuk bangunan ini nampaknya ada kaitannya dengan peranan Kota Bekasi sebagai daerah penyeimbang DKI Jakara. 
Jenis tanaman pangan yang dibudidayakan dan menghasilkan produksi di Kota Bekasi tahun 2009 adalah padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar dan kacang tanah. Produksi padi pada tahun 2009 menurun dari 6.931,9 ton di tahun 2008 menjadi 6.149,8 ton. Untuk tanaman jagung, ubi kayu dan ubi jalar pada tahun 2009 ini mengalami kenaikan produksi, sedangkan untuk tanaman  kacang tanah mengalami penurunan produksi.  Kenaikan produksi jagung, ubi kayu dan ubi jalar ini disebabkan bertambahnya luas panen, sebaliknya penurunan kacang tanah disebabkan karena bertkurangnya areal luas panen. Sawi, kacang panjang, bayam, ketimun, cabe, terong dan kangkung adalah jenis sayur-sayuran yang menghasilkan produksi di Kota Bekasi. Produksi terbesar sayuran adalah sawi 5.528 ton, kangkung 6,438 ton, dan bayam 5.609 ton. Sedangkan jenis buah-buahan yang memiliki potensi di  Kota Bekasi adalah rambutan, durian,  jambu biji, mangga, duku, sawo, pepaya dan pisang. Produksi rambutan mendominasi produksi buah di Kota Bekasi sebanyak 2.602 ton, durian 301 ton, mangga 493 ton. Jeruk siam, jambu biji, duku, sawo, pepaya dan pisang  produksinya dibawah 600 ton. [8]
Selain pertanian dan perkebunan, Kota bekasi juga mengahasilkan kegiatan ekonomi yang cukup menjanjikan, seperti perikanan dan peternakan.  Kedua potensi ekonomi ini bisa terus dikembangkan karena pangsa pasar yang cukup menjanjikan, terutama di sekitara Jabodetabek. Seluruh produksi ikan di Kota Bekasi merupakan hasil produksi perikanan Kolam/Tambak. Pada tahun 2009 hasilnya mencapai 739,25 ton. Jenis ikan yang paling banyak produksinya adalah jenis ikan mas yaitu sebanyak 145,25 ton sedangkan jika dilihat nilai produksinya, nilai produksi ikan Gurame yang terbesar nilai produksinya yaitu sebesar Rp 3.305.160.000,-  (jumlah produksi 110,50 ton). Sedangkan potensi peternakan, unggas merupakan kegiatan ekonomi yang cukup besar. Populasi ayam buras merupakan jenis unggas yang paling banyak  yaitu 678.919 ekor sedangkan ayam ras pedaging ada sebanyak 598.970 ekor dan jenis unggas lainnya seperti ayam ras petelur dan itik masing-masing jumlahnya 121.000 ekor dan 20.407 ekor. [9]
Di samping mengurangi lahan pertanian, alih fungsi lahan yang tidak terkendali telah menggerus sumber-sumber air tanah. Oleh karena itu, pemerintah Kota Bekasi perlu segera mengambil langkah-langkah yang cepat dan tepat untuk mengatasi kedua masalah tersebut. Keterlibatan semua komponen masyarakat merupakan hal yang tidak bisa diabaikan dalam mengatasi berbagai masalah di kota Bekasi.
Selain masalah-masalah fisik, meningkatnya jumlah kriminalitas di kota Bekasi perlu mendapat perhatian. Pendataan penduduk dan sistem keamanan lingkungan harus terus ditingkatkan, termasuk kerja sama antara aparat kepolisian dengan masyarakat. Dengan adanya rencana untuk pengembangan jasa, perdagangan, industri dan pemukiman, maka Kota Bekasi merupakan bagian dari pengembangan kawasan terbangun atau perkotaan dengan koridor Timur-Barat, yaitu poros Bekasi-Jakarta-Tangerang. Dalam pengembangannya Kota Bekasi dibagi dalam 2 (dua) wilayah prioritas pengembangan, yaitu :
  1. Wilayah pengembangan Utara yang meliputi bekas Kotif Bekasi (kecamatan Bekasi Timur, Bekasi Selatan, Bekasi Utara, Bekasi Barat). Pengembangannya direncanakan untuk melengkapi sarana dan prasarana yang ada dan tidak ada pengembangan wilayah baru.
  2. Wilayah Pengembangan Selatan yang meliptui 4 (empat) wilayah kecamatan, yaitu : Bantar Gebang, Pondok Gede, Jatiasih, Jatisampurna, dengan sifat pengembangan terbuka.
Rencana pengembangan kawasan terbangun di wilayah kota Bekasi memerlukan beberapa hal yang perlu dilakukan oleh Pemerintahan Kota Bekasi, antara lain :
  1. Sistem transportasi : pengembangan jalan tol, penyempurnaan on/off  ramp gerbang tol, pengembangan double track kereta api, pengembangan jalan arteri baru, pembangunan dan pengembangan jalan local (arteri sekunder), serta pembangunan dan perbaikan terminal dan angkutan umum.
  2. Rencana pengembangan sarana dan prasarana dasar kota, yang meliputi air bersih, drainase, persampahan dan air limbah, listrik dan telpon serta gas.
  3. Penataan ruang kota, antara lain : penataan lapangan persipasi, penataan Bekas terminal, pembangunan Water Front City (kota kawasan nuansa air), penataan sarana kesehatan.
  4. Pengembangan lahan hijau dan serapan air merupakan hal yang penting untuk segera direalisasikan, mengingat semakin langkanya sumber air bersih;
  5. Sistem keamanan terpadu menjadi sangat urgen untuk kota Bekasi, karena menjadi wilayah pemukiman dari masyarakat yang bekerja di Jabodetabek. Selain itu, wilayah Bekasi juga menjadi lintasan masyarakat yang akan menuju Jakarta dari wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur maupun sebaliknya.

Aan Abdurachman, Pondok Gede Bekasi
Dari berbagai sumber.


[1] Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. Halaman 49-50.
[2] Seorang ahli sejarah Poerbatjaraka berpendapat bahwa letak ibukota Tarumanegara terdapat di sekitar kota Bekasi. Pendapat Poerbatjaraka berdasarkan dugaan bahwa nama candrabagha yang ditulis dalam prasasti Tugu, setelah menyesuaikan diri dengan aturan bahasa setempat menjadi Bekasi. Etimologi itu berasal dari kata candrabhaga atau bhagacandra. Kemudian mengalami perubahan kata menjadi bhagasasi dan akhirnya Bekasi. Naskah Wangsakerta juga menyebutkan, walau raja serta keluarga kerajaan menganut agama Hindu, tetapi penduduk di sekitar desa-desa masih tetap dengan ajaran leluhur mengikuti adat nenek moyangnya yang berarti telah ada tata kemasyarakatan sebelum Tarumanegara.    Pada zaman Tarumanegara inilah istilah Sunda mulai dikenal yakni untuk menyebut ibukota kerajaannya sendiri sebagai Sundapura (kota Sunda). Demikian pula dengan legenda harimau (maung), menunjukkan keperkasaan Sang Purnawarman yang bergelar Harimau Tarumanegara (Wyagghra ning Tarumanegara).   
[3] Bekasi yang pada waktu itu termasuk wilayah Meester Cornelis berkaitan dengan semakin menguatnya dominasi politik (kekuasaan) dan ekonomi pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda. Ada beberapa konsep yang berkaitan dengan konsep kekuasaan (power), seperti influence (pengaruh), persuasion (persuasi), manipulasi, coersion, force dan authority (kewenangan). Influence adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar mengubah sikap dan perilakunya secara sukarela. Persuasion adalah kemampuan meyakinkan orang lain dengan argumentasi untuk melakukan sesuatu. Manipulasi adalah penggunaan pengaruh sehingga yang dipengaruhi tidak menyadari bahwa tingkahlakunya telah mematuhi keinginan pemegang kekuasaan. Coersion adalah pelaksanaan kekuasaan secara paksa terhadap orang atau sekelompok orang agar bersikap dan berperilaku sesuai dengan pemegang kekuasaan, termasuk perilaku yang tidak dikendaki oleh yang dipengaruhi. Force adalah penggunaan kekuasaan secara fisik, seperti membatasi kebebasan, menimbulkan rasa sakit, membatasi pemenuhan kebutuhan biologis terhadap orang lain agar melakukan sesuatu. Kekuasaan adalah kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh  yang dimiliki untuk mempengaruhi pihak lain sehingga pihak lain berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi. Sedangkan dalam arti sempit, kekuasaan politik adalah kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik sehingga keputusan itu menguntungkan dirinya, kelompoknya atau masyarakat pada umumnya. Dalam setiap situasi, hubungan kekuasaan memiliki tiga unsur, yaitu tujuan, cara, penggunaan sumber-sumber pengaruh dan hasil penggunaan sumber-sumber pengaruh (Surbakti, 1992: 57-75).

[4] www.bekasikota.go.id/

[5] Lokasi suatu kota berhubungan dengan pemilihan lahan (site) dan kondisi yang merujuk pada kondisi fisik ketika mulai didirikan dan berkembang. Begitu pula dengan karakteristik lahan kota, seperti struktur geologi, topografi dan lain-lain.
[6]  Kata “urban” atau “kota” dapat diartikan suatu proses kemasyarakatan. Urbanisasi merupakan salah satu faktor yang memunculkan sebuah kota. Faktor lain dipengaruhi faktor internal, dimana timbulnya lokalitas tertentu, sehinga menimbulkan kota yang tidak dipengaruhi campur tangan pengaruh urban dari luar.

[7] SIUP diganti menjadi TDUP, namun pada tahun 1999 nama TDUP kembali lagi menjadi SIUP.
[8] BPS Kota Bekasi. 2011. Bekasi dalam Angka.
[9] Ibid.