Kamis, 03 Maret 2011

Konversi Lahan Pertanian di Pantai Utara Jawa
(1984-1994)
A. Latar Belakang
Lahan pertanian yang membentang sepanjang Pantai Utara Jawa (Pantura) Jawa telah banyak beralih fungsi dari lahan pertanian menjadi lahan industri, pemukiman, dan prasarana perkotaan. Alih fungsi lahan ini tentu cukup mengkhawatirkan karena Pantura Jawa merupakan sentra beras maka konversi lahan pertanian akan mengganggu pemeliharaan swasembada beras nasioanal. Selain itu, alih fungsi lahan juga akan mengubah struktur ketenagakerjaan masyarakat setempat. Fenomena konversi atau alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian yang berlangsung pesat di wilayah Pantura pada tahun 1980-1993 banyak menarik perhatian karena terkait dengan persoalan yang luas, baik skala makro maupun mikro. Kondisi tersebut akan menjadi pembahasan pada tulisan ini, yaitu Konversi Lahan Pertanian di Pantai Utara Jawa (1984-1993).

B. Konversi Lahan di Pantai Utara Jawa
   Fenomena konversi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian secara makro merupakan dampak proses transformasi struktur ekonomi (dari pertanian ke industri) dan demografis (dari pedesaan ke perkotaan). Akibatnya adalah terjadi transformasi alokasi sumber daya lahan dari pertanian ke non pertanian. Permasalahannya adalah alih fungsi lahan tersebut terjadi pada lahan sawah di wilayah Pantura Jawa yang selama ini menjadi sentra produksi padi utama, yaitu di wilayah Pantura Jawa karena didukung oleh prasarana irigasi teknis. Dalam konteks ini konversi lahan di Pantura Jawa menjadi ancaman terhadap upaya mempertahankan swasembada beras yang telah dicapai pada tahun 1984.
Dalam skala  mikro, dampak alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian akan berpengaruh pada kondisi sosial ekonomi rumah tangga petani, terutama dalam kaitannya dengan pergeseran struktur ketenagakerjaan dan penguasaan pemilikan lahan pertanian di pedesaan. Pengertian konversi, alih fingsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut trasnformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu pengggunaan ke penggunaan lainnya. Dalan Land economoics, pengertian tersebut mengacu pada proses dialihgunakannya lahan pertanian atau pedesaan ke penggunaan non pertanian atau perkotaan.
Dalam konteks ekonomi, fenomena alih fungsi lahan dari pertanian ke nonpertanian merupakan penempatan sumber daya lahan sebagai factor produksi. Karena faktor-faktor produksi tersebut memiliki karakteristik tertentu,maka secara alami akan terjadi persaingan dalam penggunaan lahan untuk berbagai aktifitas. Dalam kondisi ini akan terjadi perubahan dalam penggunaan lahan yang mengarah pada aktivitas yang mempunyai land rent yang paling tinggi. Padahal persediaan lahan tetap sedangkan permintaannya terus tumbuh dengan cepat terutama di kawasan perkotaan. Pertumbuhan  akan lahan tersebut didorong oleh pertumbuhan penduduk dan aktivitas sosial-ekonomi yang menyertainya.  Interaksi antara permintaan dan pnawaran lahan ini akan menghasilkan pola penggunaan lahan yang mengarah pada aktivitas yang paling menguntungkan. Dalam konteks ini alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian terjadi.
Konversi lahan pertanian telah menjadi isu global, tidak hanya di negara berkembang yang pertaniannya dominant tetapi juga di Negara maju. Dalam proses alih fungsi lahan pertanian terkait erat dengan ekspans atau perluasan perkotaan sebagai wujud fisik dari proses urbanisasi. Ekspansi kawasan akan berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap wilayah pedesaan di sekitarnya, yaitu dalam bentuk konversi lahan dan peningkatan penduduk nonpertanian atau akibat sekunder berkurangnya lahan pertanian. Di Indonesia, khusunya di Pantura Jawa terjadi alih fungsi lahan pertanian subur ke penggunaan nonpertanian terutama dalam wilayah yang dipengaruhi oleh pertumbuhan pusat-pusat perkotaan yang sangat pesat. Dalam prespektif makro terjadi transformasi struktur perekonomian dan demografis. Dalam proses pembangunan Negara-negara Asia, termasuk Indonesia, muncul masalah yang berkaitan dengan penggunaan lahan, yaitu:
1. perluasan kawasan perkotaan
2. berkurangnya lahan pertanian subur
3. lahan sebagai objek spekulasi yang penggunaannya disalahgunakan

Konsumsi terhadap lahan merupakan manifestasi dari kekuatan-kekuatan demografis dan ekonomi. Selain itu, ada 6 faktor yang berpengaruh dalam konversi lahan:
1. perubahan penduduk
2. rata-rata ekonomi yang dominan
3. rata-rata nilai lahan residensial
4. kepadatan penduduk
5. wilayah geografis
6. kemampuan lahan untuk pertanian.
Sedangkan faktor eksternal dalam alih fungsi lahan antara lain:
1. tingkat urbanisasi
2. situasi perekonomian makro
3. kebijakan dan program pemerintah dalan pembangunan 

C. Wilayah Administrasi Pantura Jawa
Pada periode tahun 1984-1993, wilayan pantura Jawa berada di wilayah administrasi 4 (empat) provinsi yang meliputi 36 kabupaten/kotamadya, yaitu:
1. DKI Jakarta
2. Jawa Barat
2.1 Kab.Cirebon
2.2 Kodya Cirebon
2.3 Kab. Indramayu
2.4 Kab. Subang
2.5 Kab. Purwakarta
2.6. Kab. Karawang
2.7 Kab. Bekasi
2.8 Kab. Tangerang
2.9 Kabupaten Serang
3. Jawa Tengah
3.1 Kab. Rembang
3.2 Kab. Pati
3.3 Kab. Kudus
3.4 Kab. Jepara
3.5 Kab. Demak
3.6. Kab. Semarang
3.7 Kab. Kodya. Semarang
3.8 Kab. Kendal
3.9 Kab. Batang
3.10 Kabupaten Pekalongan
3.11 Kodya Pekalongan
3.12 Kab. Pemalang
3.13 Kab. Tegal
3.14 Kodya Tegal
3.15 Kab. Brebes
4. Jawa Timur
4.1 Kab. Bondowoso
4.2 Kab. Situbondo
4.3 Kab. Probolinggo
4.4 Kodya Probolinggo
4.5 Kab. Pasuruan
4.6. Kodya Pasuruan
4.7 Kab. Sidoarjo
4.8 Kab. Tuban
4.9 Kab. Lamongan
4.10 Kab. Gresik
4.11 Kodya Surabaya

D. Kondisi Penggunaan Lahan Sawah di Pantura
Pada periode tahun 1983-1994, wilayah Pantura Jawa mempunyai peranan yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan pangan (beras) secara nasional, karena produksinya yang tinggi dengan dukungan prasarana irigasi sosiostruktur yang cukup maju. Kondisi tersebut telah mengantarkan Indonesia menjadi negara berswasembada beras pada tahun 1984 yang sedang berupaya dipertahankan. Upaya tersebut tidak mudah karena dinamikan pertumbuhan kota yang pesat akibat pacuan industrialisasi. Dalam kurun waktu 1983-1994 di Pulau Jawa terjadi penyusutan luas lahan sawah sebesar 104,581 ha yang sebagian besar (35,58%)  atau sekitar 4.300 ha pertahun diantaranya terjadi di Pantura Jawa. Penyusutan lahan sawah tersebut sangat mencolok terutama pada periode tahun 1988-1994, yakni 34.374 ha (73%) dari luas penyusutan di Pulau Jawa. Penyusutan luas lahan sawah ini disebabkan oleh adanya konversi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian (perumahan, industri dan prasarana) yang jauh lebih besar daripada perluasan lahan sawah baru. Data Departemen Pertanian menunjukkan bahwa pada periode tahun 1983-1993 luas konversi lahan sawah di Pulau Jawa rata-rata 42.500 ha per tahun.
Kecenderungan konversi lahan sawah di Pulau Jawa lebih besar terjadi di Pantura. Berdasarkan data pada tahun 1990-1993 di wilayah Pantura terjadi konversi dari lahan sawah ke nonpertanian seluas 32.036 ha atau rata-rata 10.679 ha per tahun atau 58,5% luas lahan sawah di Pulau Jawa. Sebagian lahan sawah tersebut berubah menjadi perumahan (39%) dan industri (35%).
Selain dari lahan sawah, terjadi pula konversi dari pertanian lahan kering ke penggunaan nonpertanian. Selama kurun waktu 1983-1993, konversi lahan dari tegalan/ladang/huma/kebun ke penggunaan nonpertanian seluas 13.558 ha atau rata-rata 4.520 ha pertahun, yang sebagian besar menjadi perumahan (59%) dan industri (27%). Dengan demikian, secara keseluruhan di wilayah Pantura terjadi konversi lahan pertanian (sawah dan lahan kering) ke penggunaan nonpertanian seluas 45.595 ha atau rata-rata 15.200 ha per tahun. Angka ini cukup besar (52%) jika dibandingkan dengan konversi lahan pertanian di Pulau Jawa yaitu rata-rata 29.430 ha per tahun.
Akibat konversi lahan sawah tersebut adalah terjadinya penyusutan luas sawah secara netto. Dalam kurun waktu 1983-1994, penyusutan lahan sawah yang terjadi di Pantura Jawa adalah sebesar 47.216 ha atau sekitar 4.290 ha per tahun. Sedangkan penyusutan lahan sawah di Jawa rata-rata 9.500 per tahun. Berdasarkan lokasi wilayah administrasinya, luas penyusutan lahan sawah di Pantura paling banyak terjadi di Jawa Barat. Penyusutan luas lahan sawah terbesar terjadi pada kurun waktu 1988-1994, yaitu seluas 34.370 ha atau sekitar 70% dari luas lahan sawah yang menyusut di Pulau Jawa. Ditinjau dari teknis pengairannya, luas lahan sawah beririgasi teknis dan setengah teknis secara keseluruhan tidak terjadi penyusutan. Namun beberapa kebupaten, terutama di Pantura Jawa Barat pada tahun 1988-1994 mulai tampak penyusutan luas lahan sawah, yang berarti luas lahan sawah beririgasi teknis yang terkonversi tidak dapat diimbangi lagi dengan perluasan lahan sawah beririgasi teknis baru.
Terjadi penyusutan luas lahan sawah mengakibatkan penyusutan luas panen padi sawah di wilayah Pantura dari 1.914.996 ha (1984) menjadi 1.861.780 ha (1994). Penyusutan luas panen sebesar 53.216 ha atau 5.322 ha pertahun tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi di Pulau Jawa sebesar 3.900 ha per tahun. Penyusutan luas panen ini baru terjadi pada kurun waktu 1989-1994 yaitu sebesar 103.350 ha, sehingga mengakibatkan penurunan produksi padi sawah sebesar 269.787 ton, yang sebagian besar terjadi di Pantura Jawa Barat.
Wilayah Pantura sebagai sentra produksi padi di Pulau Jawa pada saat pencapaian swasembada beras (1984), mempunyai pangsa sebesar 23,55%. Dengan adanya kecenderungan penyusutan luas panen, terutama di Pantura Jawa Barat, pangsa terhadap produksi padi nasional telah menurun dari 23,55% menjadi 21,23% pada tahun 1994. Dengan demikian, setelah tahun 1994 swasembada beras sulit dipertahankan jiak konversi lahan sawah ke non pertanian terus berlangsung, apalagi jika pertumbuhan penduduk terus meningkat(lebih dari 2,48% pertahun) dan tidak sebanding dengan laju pertumbuhan produksi padi yang pada tahun 1994 sebesar 1,03% pertahun.  
   
E. Pola Spasial Konversi Lahan Sawah
Berdasarkan kecenderungan sebarannya secara spasial, konversi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian di wilayah Pantura Pulau Jawa tidak merata di semua kabupaten/Kotamadya. Demikian juga kecenderungan penyusutan luas lahan sawah yang diakibatkannya, baik ditinjau berdasarkan luasan maupun laju penyusutannya. Dalam hal ini ada pola spasial bahwa konversi lahan sawah hanya terjadi pada kabupaten/kotamadya tertentu.
Secara umum kecenderungan yang luasnya paling besar terjadi di wilayah Pantura Barat (DKI Jakarta dan Jawa Barat), yang mencakup sekitar 50% daru luas konversi lahan sawah di wilayah Pantura Jawa, terutama beralih menjadi kawasan industri dan perumahan. Di Pantura Barat sendiri, kabupaten-kabupaten yang besar luasan konversi lahan sawahnya (> 500 ha pertahun) adalah DKI Jakarta, Serang, Tangerang, Bekasi, Karawang dan Indramayu. Sedangkan di Pantura Timur, kabupaten/kodya yang mempunyai luas konversi lahan sawah cukup besar (300-500 ha pertahuan) antara lain Gresik, Sidoarjo, Surabaya dan Pasuruan. Di Pantura Tengah yang secara keseluruhan  mempunyai luasan konversi lahan sawah paling kecil (100 – 300 ha per tahun) antara lain Kodya Semarang, Pati, Brebes, Demak dan Rembang.
Adanya kecenderungan konversi lahan saswah tersebut mengakibatkan penyusutan luas lahan sawah. Dalam hal ini terdapat gambaran yang hampir sama pola spasialnya dengan kecenderungan konversi. Kabupaten/kotamadya yang mempunyai penyusutan luas lahan sawah tergolong besar dan laju penyusutan juga tinggi (lebih besar dari rata-rata di wilayah Pantura mencakup 15 kabupaten/kotamadya.
1.Pantura Barat:
1.1 Serang
1.2 Tangerang
1.3 Bekasi
1.4 Purwakarta
1.5 DKI Jakarta
2. Pantura Tengah
2.1 Pekalongan
2.2 Tegal
2.3 Kab. Semarang
2.4 Kodya Semrang
2.5 Rembang
3. Pantura Timur:
3.1 Pasuruan
3.2 Probolinggo
3.3 Surabaya
3.4 Sidoarjo dan
3.5 Gresik
Berdasarkan sebaran lokasinya, tampak bahwa penyusutan lahan sawah yang besar dan laju penyusutan yang tinggi terkonsentrasi di sekitar kota metropolitan yang mengalami pertumbuhan sangat pesat (Jakarta, Semarang dan Surabaya). Di Pantura Barat daerah yang mengalami penyusutan yang cukup tingga adalah Serang, Tangerang dan Bekasi karena terkait dengan pertumbuhan kota Jakarta yang mengalami perkembangan fisik secara ekstensif meluas ke arah Barat (Serang) dan ke Timur (Karawang dan Purwakarta) sehingga membentuk suatu koridor.
Tabel 1
Perubahan Luas Lahan Sawah di Pantura (1983-1994)

Wilayah Pantura
Luas Lahan Sawah (ha)

1983
1988
1994
Jawa Barat
588.808
573.122
551.971
DKI Jakarta
7.700
7.821
3.963
Jawa Tengah
434.810
446.014
439.418
Jawa Timur
363.203
354.722
351.953
Jumlah
1.394.521
1.381.679
1.347.305

Sumber : BPS, Survei Pertanian 1983, 1988, 1994

F. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh
Konversi lahan pertanian ke nonpertanian di Pantura Jawa di pengaruh beberapa faktor, baik internal dan eksternal. Faktor internal adalah kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan yang mendorong mereka melepaskan kepemilikan atau penguasaaan lahannya terhadap lahan sawah sehingga potensial mengubah penggunaannya. Faktor eksternal pada dasarnya adalah faktor-faktor dinamika pertumbuhan perkotaan, baik secara fisik spasial, demografis, maupun ekonomi yang mendorong atau memicu terjadinya konversi lahan sawah (pedesaan) non pertanian. Dengan demikian faktor eksternal ini merupakan implikasi langsung dari terjadinya transformasi ekonomi, dari ekonomi pertanian ke ekonomi industri. 

F.1 Faktor Eksternal
Faktor eksternal berkaitan dengan dinamika pertumbuhan perkotaan, yaitu kawasan terbangun, pertumbuhan penduduk perkotaan, dan pertumbuhan PDRB (Product Domestic Regional Bruto). Semakin besar laju kawasan terbangun (sebagai manifestasi perkembangan fisik-spasial kabupaten/kodya) mengakibatkan penyusutan luas lahan sawah yang semakin besar. Semakin tinggi laju pertumbuhan penduduk perkotaan mengakibatkan semakin besar pula penyusutan luas lahan sawah yang terjadi. Semakin besar laju pertumbuhan PDRB (dalam prosentense per tahun, bernilai positif) akan menyebabkan perubahan luas lahan sawah secara negatif (penyusutan luas).
 Gambaran kuatnya pengaruh dinamika pertumbuhan perkotaan dapat dilihat data berikut. Pertama, Laju pertumbuhan penduduk Pantura 2,48% pertahun (1983-1994), lebih tinggi dari laju pertumbuhan penduduk di pulau Jawa. Dengan jumlah penduduk 44.306.690 jiwa (1994), wilayah Pantura menjadi wilayah konsentrasi penduduk di Pulau Jawa dengan proporsi sebesar 39,42%, sementara luasnya hanya sekitar 26,7% dari luas pulau Jawa. Di lihat dari persebaran, laju pertumbuhan penduduknya yang tinggi di wilayah Pantura terkonsentrasi di kawasan perkotaan sebesar 6,81% per tahun, sedangkan konsentrasi di pulau Jawa 5,14% danm di Indonesia 5,36%.
Ditinjau dari sebarannya tiap kabupaten/kotamadya, yang mempunyai laju pertumbuhan penduduk perkotaan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan rata-rata di pulau Jawa adalah:
1. Jawa Barat
1.1 Serang
1.2 Tangerang
1.3 Bekasi
1.4 Karawang
1.5 Indramayu dan
1.6 Cirebon
2. Jawa Tengah
2.1 Demak
2.2 Jepara
2.3 Kodya Semarang
2.4 Kab. Semarang
2.5 Brebes
2.6 Batang
2.7 Kudus
3. Jawa Timur
3.1 Sidoarjo
3.2 Gresik

Kedua, dari aspek ekonomi wilayah Pantura mempunyai laju pertumbuhan PDRB rata-rata sebesar 9,82% pertahun, lebih tinggi daripada pulau Jawa (9,28%). Ditinjau dari sebarannya, ada 14 kab/kodya yang mempunyai laju pertumbuhan PDRB yang lebih besar dari pulau Jawa, yaitu:
1. DKI Jakarta
2.Tangerang
3. Serang
4. Purwakarta
5. Bekasi
6. Karawang
7. Kudus
8. Kendal
9. Pekalongan
10. Kodya Semarang
11. Sidoarjo
12. Surabaya
13. Kodya Probolinggo
Tingginya laju pertumbuhan PDRB di sebagian kab./kodya di wilayah Pantura terkait erat dengan proses industrialisasi yang berlangsung sangat pesat. Hal ini ditandai dengan  pertumbuhan sektor industri pengolahan yang rata-rata sebesar 19,70% pertahun, yang jauh labih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan industri di Pulau Jawa (17,16% pertahun) dan di Indonesia 14,94% pertahun. Selain pertumbuhan PDRB yang tinggi tersebut, wilayah tersebut mengalami perubahan struktur (pada periode 1985-1993) yang cukup berarti dalam perekonomian. Sektor industri pengolahan yang semula mempunyai pangsa sebesar 17,92% (1985) pada tahun 1993 pangsanya meningkat menjadi 25,86%. Pada kurun waktu yang sama sektor pertanian menurun pangsanya dari 14,48% menjadi 10,78%.
Ketiga, terjadi pertumbuhan dan perubahan struktural dalam perekonomian (dari pertanian ke Industri) dan demografis (dari pedesaan ke perkotaan) di wilayah Pantura Jawa yang tampak dari perubabahan fisik spasial. Luas kawasan terbangun (1984-1994) telah meningkat dari 505.350 ha menjadi 577.931 ha yang berarti meningkat 72,581 ha yang didominasi perkembangan fisik perkotaan. Ditinjau dari proporsinya, kawasan terbangun di wilayah Pantura mencakup 21,79% dari luas wilayah telah meningkat menjadi 24,92 % (1994). Ditinjau menurut kab/kodya yang mempunyai laju perkembangan kawasan terbangun sangat tinggi (lebih dari rata-rata Pantura) antara lain:
1. Pantura Barat:
1.1 Serang
1.2 Tangerang
1.3 DKI Jakarta
1.4 Bekasi
1.5 Karawang dan
1.6 Kodya Cirebon.  
2. Pantura Tengah:
2.1 Kodya Semarang
2.2 Kodya Pekalongan
2.3 Kodya Tegal
3. Pantura Timur:
3.1 Sidoarjo
3.2 Kab. Pasuruan
3.3 Kodya Pasuruan
3.4 Kodya Probolinggo
                          


Tabel 2
Luas Kawasan Terbangun di Pantura (1983-1994)

Wilayah Pantura
Luas Kawasan Terbangun (ha)

1983
1988
1994
Jawa Barat
158.736
172.742
207.668
DKI Jakarta
32.294
30.539
38.672
Jawa Tengah
195.904
200.882
203.568
Jawa Timur
118.416
126.799
128.023
Jumlah
505.350
530.962
577.931

Sumber : BPS, Survei Pertanian 1983, 1988, 1994

F.2 Faktor Internal
Faktor Internal menyangkut pertumbuhan rumah tangga pertanian pengguna lahan serta perubahan dalam penguasaan lahan pertanian. Semakin tinggi laju pertumbuhan rumah tangga pertanian pengguna lahan menyebabkan semakin besarnya penyusutan luas lahan sawah. Semakin besar perubahan luas penguasaan lahan per-rumah tangga pertanian pengguna lahan, semakin besar pengaruhnya terhadap laju penyusutan luas lahan sawah.
Gambaran umum kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian di Pantura terjadi beberapa perubahan. Pertama, terjadinya pengurangan rumah tangga pertanian, meskipun tidak terlalu besar yaitu sekitar 0,18%. Ditinjau dari proporsinya, terjadi penuruna dari 42% menjadi 31,5%, yang sebaliknya diikuti dengan peningkatan rumah tangga nonpertanian menjadi 57,5%.
Kedua, luas lahan yang dikuasai oleh rumah tangga pertanian pengguna lahan menunjukkan kecenderungan penurunan, dari 1.956.544 ha (1983) menjadi 1.754.425 ha (1993). Penyusutan luas lahan yang dikuasai mengakibatkan semakin kecilnya luas lahan yang dikuasai per-rumah tangga. Pada tahun 1983 rata-rata luas luas lahan yang dikuasai oleh rumah tangga pertanian pengguna lahan sebesar 0,62 ha menurun menjadi 0,55 ha pada tahun 1993. Ketiga, semakin sempitnya luas lahan yang dikuasai oleh rumah tangga pertanian pengguna lahan menunjukkan terjadinya fragmentasi lahan dan bertambahnya besarnya rumah tangga pertanian gurem. Rumah tangga pertanian gurem meningkat selama kurun waktu 1983-1993 sebesar 10,41%.
Selain faktor sosial ekonomi, faktor yang mempengaruhi kecenderungan dan pola spasial konversi lahan pertanian pengguna pertanian ke pengguna nonpertanian di wilayah Pantura adalah faktor kebijakan pemerintah. Ada 3 (tiga) kebijakan pemerintah yang berpengaruh dan menjadi faktor pemicu munculnya  konversi lahan pertanian, yaitu : privatisasi pembangunan kawasan industri, pembangunan pemukiman skala besar dan kota baru serta diregulasi investasi dan perizinan
Melalui Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 telah memberikan keleluasan kepada pihak swasta melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasi sesuai mekanisme pasar. Sejak diterbitkannya Kepres tersebut, sampai tahun 1993 telah dibangun kawasan industri sebanyak 131 perusahaan kawasan industri dengan luas areal 46.133 ha, yang ditnjau dari sebarannya sebagian besar (77,4 %)  berada di pulau Jawa. Sedangkan luas terbesar kawasan industri di Pulau Jawa adalah di Jawa Barat (83 buah) yang hampir seluruhnya berada di Pantur (Tangerang, Bekasi, Karawang dan Purwakarta) dengan luas lahan 27.767 ha.
Kebijakan pemerintah kedua yang berpengaruh pada konversi lahan pertanian di Pantura adalah kebijakan tentang pembangunan pemukiman dalam skala besar dan kota baru. Ditinjau dari sebarannya izin lokal pembangunan pemukiman dalam skala besar berada di Jabodetabek dan wilayah Pantura, mengingat daerah tersebut adalah penyangga DKI Jakarta.
Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri dan pemukiman dalam skala besar diperkuat dengan kebijakan pemerintah di bidang penanaman modal dan perizinan yang tertuang dalam Paket Oktober (Pakto) Nomor 23 Tahun 1993. Dengan adanya kemudahan izin berdasarkan Pakto-23, maka terjadi peningkatan permohonan izin lokasi untuk kawasan industri dan pemukiman skala besar maupun kawasan pariwisata. Sejak Pakto-23, terjadi lonjakan kawasan industri dengan luas lahan 11.889 ha untuk pemukiman skala besar, dan 36.890 untuk kawasan industri pariwisata di Jawa Barat.
Tabel 3a.
Luas Lahan Rata-Rata yang dikuasai Rumah Tangga Pertanian Pengguna Lahan Menurut Kabupaten/Kotamadiya di Wilayah Pantura


Wilayah Pantura
Jumlah Rumah Tangga Pertanian Pengguna lahan
Luas lahan yang dikuasai (ha)

Tahun 1983
Tahun 1993
Tahun 1983
Tahun 1993
Jawa Barat
2.190.795
2.308.797
2.438.386
118.002
DKI Jakarta
17.257
10.000
6.000
3.000
Jawa Tengah
6.291.905
6.205.218
6.197.038
6.208.744
Jawa Timur
0

589.548
0



Tabel 3b
Luas Lahan Rata-Rata yang dikuasai Rumah Tangga Pertanian Pengguna Lahan Menurut Kabupaten/Kotamadiya di Wilayah Pantura


Wilayah Pantura
Luas lahan per-Rumah Tangga (ha/Ruta)

Tahun 1983
Tahun 1993
Jawa Barat
0,58
0,47
DKI Jakarta
0,58
0,47
Jawa Tengah
0,58
0,47
Jawa Timur
0,58
0,47


BPS Sensus Pertanian (1983-1993)

Sumber:
Prisma. No. 1 Tahun 1997. LP3ES